Tuesday, December 16, 2008

Laporan Kebebasan Beragama Internasional 2007

Diluncurkan oleh Biro Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Perburuhan

Undang-undang Dasar memberikan kebebasan dalam beragama, dan pemerintah pada umumnya menghargai pemakaian hak ini. Tidak ada perubahan dalam status penghargaan pemerintah terhadap kebebasan beragama selama periode pembuatan laporan, dan kebijakan pemerintah kian memberikan kebebasan secara umum dalam beragama. Namun, saat sebagian besar penduduk menikmati tingkat kebebasan beragama yang tinggi, pemerintah hanya mengakui enam agama besar. Beberapa larangan hukum terus berlaku pada beberapa jenis kegiatan keagamaan tertentu dan pada agama-agama yang tidak diakui. Beberapa larangan Pemerintah terkadang memberikan toleransi terhadap diskriminasi dan perlakuan kejam atas kelompok-kelompok agama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok
individu dan seringkali gagal menghukum para pelakunya. Sementara itu, Aceh adalah satu-satunya propinsi yang diberikan wewenang untuk melaksanakan hukum Islam (Syariah), beberapa pemerintah daerah di luar Aceh mengeluarkan peraturan daerah yang melaksanakan elemen-elemen Syariah yang menghapuskan hak-hak para perempuan dan agama minoritas. Pemerintah tidak menggunakan wewenang konstitusionalnya atas masalah-masalah agama untuk meninjau atau membatalkan peraturan-peraturan daerah ini. Orang-orang dari kelompok-kelompok agama minoritas dan atheis terus mengalami diskriminasi dari negara, seringkali dalam konteks pencatatan sipil untuk pernikahan dan kelahiran atau berkenaan dengan pengeluaran kartu identitas.
Publik pada umumnya menghargai kebebasan beragama; namun, kelompok-kelompok ekstrim menggunakan kekerasan dan intimidasi dalam memaksa delapan gereja kecil yang tidak memiliki ijin dan satu masjid Ahmadiyah untuk ditutup. Selain itu beberapa gereja dan tempat-tempat ibadah Ahmadiyah yang ditutup secara paksa oleh massa pada tahun-tahun sebelumnya tetap ditutup. Beberapa pejabat pemerintah dan organisasi massa Islam terus menolak penafsiran Ahmadiyah terhadap Islam yang menimbulkan diskriminasi terhadap para pengikutnya. Banyak pelaku kekerasan terhadap pemeluk agama minoritas di masa lalu yang tidak diadili. Begitu pula pada kejadian dimana kelompok ekstrimis yang menyerang dan mencoba meneror anggota kelompok-kelompok agama lain yang terjadi di propinsi tertentu selama periode pelaporan.
Pemerintah AS membahas masalah kebebasan beragama dengan Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari seluruh kebijakannya untuk menegakkan hak asasi manusia. Kedutaan Besar AS menegakkan kebebasan dan toleransi beragama melalui program pertukaran dan pengembangan masyarakat madani.

Bagian I. Demografi Agama
Sebagai negara kepulauan yang terdiri atas lebih dari 17.000 pulau, Indonesia memiliki luas wilayah 700.000 juta mil persegi dan jumlah penduduk 245 juta.
Menurut laporan sensus tahun 2000, 88,2 persen penduduk menyatakan dirinya sebagai pemeluk agama Islam, 5,9 persen Kristen Protestan, 3,1 persen Katolik Roma, 1,8 persen Hindu, 0,8 persen Budha, dan 0,2 persen ”lain-lain”, termasuk agama pribumi, kelompok Kristen lain, dan Yahudi. Beberapa penganut agama Kristen, Hindu, dan anggota kelompok agama minoritas lain berpendapat bahwa sensus tersebut kurang akurat dalam menghitung jumlah nonmuslim. Pemerintah tidak mengakui atheisme.
Sebagian besar Muslim di negara ini adalah Suni. Orang Syiah memperkirakan bahwa terdapat sekitar satu hingga tiga juta pengikut Syiah. Mayoritas komunitas Muslim di negara ini mengikuti dua aliran utama: kaum modernis, yang sangat taat kepada teologi ortodok yang tekstual, seraya merangkul ajaran dan konsep-konsep moderen; dan kaum tradisionalis yang kerap kali mengikuti kyai kharismatik dan berorganisasi di pesantren-pesantren. Organisasi sosial modernis terkemuka, Muhammadiyah, mengklaim memiliki 30 juta pengikut, sementara organisasi sosial tradisionalis terbesar, Nahdlatul Ulama, mengklaim mempunyai 40 juta pengikut.
Organisasi-organisasi Islam yang lebih kecil meliputi Jaringan Islam Liberal, yang memiliki penafsiran ajaran sendiri, hingga kelompok seperti Hizbut Tahrir Indonesia, yang mendukung kekhalifahan Islam, dan Majelis Mujahidin, yang menyerukan penerapan Syariah Islam sebagai syarat terbentuknya negara Islam. Minoritas kecil memeluk interpretasi Ahmadiyah terhadap Islam dan terdapat 242 cabang Ahmadiyah. Terdapat pula kelompok Islam sempalan, termasuk Darul Arqam, Jamaah Salamullah, dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia.
Departemen Agama memperkirakan bahwa ada 19 juta pemeluk Protestan (yang disebut sebagai Kristen di negara ini) dan 8 juta pemeluk Katolik tinggal di negara ini. Propinsi Nusa Tenggara Timur memiliki proporsi penganut Katolik tertinggi dengan 55 persen. Sementara itu, propinsi Papua memiliki proporsi penganut Kristen Protestan terbesar, yaitu 58 persen.
Departemen Agama juga memperkirakan terdapat 10 juta pemeluk agama Hindu yang hidup di negara ini. Agama Hindu dianut hampir 90 persen dari jumlah penduduk Bali. Penganut Hindu minoriotas (yang disebut ”Keharingan”) tinggal di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, kota Medan (Sumatera Utara), Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, serta di Lombok (Nusa Tenggara Barat). Kelompok-kelompok Hindu seperti Hare Krishna dan para pengikut pemimpin spiritual India Sai Baba juga ada, walaupun dalam jumlah yang lebih kecil. Beberapa agama pribumi, termasuk ’Naurus’ di Pulau Seram di propinsi Maluku yang berkaitan dengan kepercayaan Hindu dan animisme dalam kebiasaan hidupnya. Banyak pula yang mengadopsi beberapa prinsip Kristen Protestan. Komunitas Tamil di Medan juga mewakili sekelompok penting pemeluk agama Hindu.
Negara ini memiliki sedikit pengikut Sikh yang berjumlah sekitar 10 hingga 15 ribu orang. Mereka sebagian besar bertempat tinggal di Medan dan Jakarta. Delapan kuil Sikh (gurdwara) terletak di Sumatera Utara sementara di Jakarta terdapat dua kuil dengan jamaah yang aktif melakukan ibadah.
Di antara penganut agama Budha, sekitar 60 persen mengikuti aliran Mahayana, 30 persen menjadi pengikut Theravada, dan 10 persen sisanya penganut aliran Tantrayana, Tridharma, Kasogatan, Nichiren, dan Maitreya. Menurut Generasi Muda Budhhis Indonesia, sebagian besar penganut agama Budha tinggal di Jawa, Bali, Lampung, Kalimantan Selatan, dan Kepulauan Riau, etnis China merupakan 60 persen dari penganut agama Budha.
Jumlah pengikut Konghucu masih tidak jelas karena pada saat sensus nasional tahun 2000, para responden tidak diijinkan untuk menunjukkan identitas mereka. Jumlah mereka mungkin terus bertambah setelah pemerintah menghapuskan berbagai larangan di tahun 2000 seperti hak untuk merayakan Tahun Baru China di muka umum. Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) memperkirakan bahwa 95 persen dari pengikut Konghucu adalah etnis China dan sisanya dari etnis Jawa pribumi. Banyak pengikut Konghucu yang juga menjalankan ajaran agama Budha dan Kristen. MATAKIN mendesak pemerintah untuk memasukkan Konghucu sebagai salah satu kategori pada sensus berikutnya.
Sekitar 20 juta orang di pulau Jawa, Kalimantan, dan Papua diperkirakan mempraktekkan animisme dan jenis sistem kepercayaan tradisional lainnya yang disebut sebagai ’Aliran Kepercayaan”. Beberapa penganut animisme menggabungkan kepercayaan mereka dengan salah satu agama yang diakui Pemerintah.
Sejumlah kecil komunitas Yahudi terdapat di Jakarta dan Surabaya. Komunitas Baha’i melaporkan bahwa mereka memiliki ribuan anggota, tetapi tidak ada angka yang dapat diandalkan.
Perwakilan Falun Dafa mengklaim bahwa kelompok mereka lebih sebagai organisasi spiritual daripada agama, memiliki 2.000 sampai 3.000 pengikut dan hampir setengahnya tinggal di Yogyakarta, Bali, dan Medan.
Tidak ada data mengenai agama yang dianut warga asing dan para imigran.
Sekitar 191 misionaris asing, terutama dari agama Kristen, menjalankan misi di negara ini. Banyak yang bekerja di Papua, Kalimantan, dan di wilayah-wilayah lain dengan jumlah penganut animisme besar.

Bagian II. Status Kebebasan Beragama
Kerangka Hukum/Kebijakan
Undang-undang Dasar memberikan kebebasan beragama, dan pemerintah pada umumnya menghargai pelaksanaan hak ini. UUD menyatakan bahwa ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” dan menyatakan pula bahwa ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa’. Sila pertama ideologi nasional negara ini, Pancasila, menyatakan keyakinan kepada satu Tuhan. Namun, terdapat beberapa larangan pada jenis-jenis kegiatan agama tertentu dan pada agama-agama yang tidak diakui. Pegawai negeri sipil harus menyatakan sumpah setia kepada bangsa dan ideologi Pancasila. Pemerintah terkadang memberikan toleransi kepada kelompok-kelompok ekstrim yang menggunakan kekerasan dan intimidasi terhadap kelompok-kelompok agama, dan seringkali gagal menghukum para pelakunya. Pemerintah tidak menggunakan wewenangnya untuk meninjau atau mencabut perturan daerah yang melanggar kebebasan beragama.
Departemen Agama menambah status resmi menjadi enam keyakinan; Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu, dan sejak Januari 2006, Konghucu. Atheisme tidak diakui. Organisasi-organisasi keagamaan selain dari keenam agama yang diakui tersebut dapat mendaftar ke Departemen Kebudayaan dan Pariwisata hanya sebagai organisasi sosial yang melarang kegiatan-kegiatan keagamaan tertentu. Kelompok-kelompok keagamaan yang tidak terdaftar tidak memiliki hak untuk mendirikan rumah ibadah dan mengalami kesulitan-kesulitan administratif dalam mendapatkan kartu identitas dan dalam mendaftarkan pernikahan dan kelahiran.
Pemerintah mensyaratkan kelompok-kelompok keagamaan yang diakui secara resmi untuk mematuhi instruksi Departemen Agama dan departemen lainnya seperti Surat Keputusan Bersama Menteri yang direvisi mengenai Pendirian Rumah Ibadat (2006), Bantuan Asing kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia (1978) dan Pedoman Penyiaran Agama (1978).
Pada tanggal 9 Desember 2006, DPR mensyahkan Undang-undang Administrasi Kependudukan yang mengharuskan warganegara mengidentifikasikan diri mereka pada KTP sebagai pemeluk salah satu dari enam agama yang diakui oleh Pemerintah. Undang-undang tersebut melegalisir apa yang di masa lalu merupakan praktek administrasi di seluruh negeri. Undang-undang tersebut tidak mengijinkan pencatuman agama lain dalam KTP tersebut.
Surat Keputusan Bersama Menteri yang Direvisi tahun 2006 mengenai Pendirian Rumah Ibadat yang dikeluarkan pada tanggal 21 Maret 2006 mengharuskan kelompok agama yang hendak mendirikan rumah ibadat untuk mengumpulkan paling sedikit 90 tanda tangan anggota jemaat dan 60 tanda tangan dari pemeluk agama lain yagn berada dalam komunitasnya yang mendukung pendirian rumah ibadat, serta mendapatkan persetujuan kantor urusan agama setempat. Beberapa kelompok agama mengeluhkan bahwa surat keputusan yang direvisi tersebut mempersulit mereka dalam mendirikan rumah ibadat, sementara yang lain berpendapat bahwa kejelasan dalam surat keputusan yang direvisi tersebut akan memperbaiki keadaan dengan menghilangkan penafsiran-penafsiran yang menimbulkan konfik dari surat keputusan tahun 1969 yang digantikannya.
Pedoman untuk Batuan Asing bagi Lembaga Keagamaan mengharuskan lembaga keagamaan dalam negeri untuk mendapatkan persetujuan dari Departemen Agama sebelum menerima dana dari donor asing. Pedoman Penyiaran Agama melarang ajakan untuk berpindah agama dalam berbagai situasi.
Undang-undang Perlindungan Anak tahun 2002 menjadikan upaya untuk mengubah keyakinan anak pindah agama melalui ”tipu muslihat” dan/atau ”kebohongan” sebagai kejahatan yang dapat dikenai hukuman hingga 5 tahun penjara.
Pasal 156 KUHP membuat penyebaran permusuhan, penodaan, dan penghinaan terhadap suatu agama dapat dikenai hukuman hingga 5 tahun penjara. Walaupun hukum diterapkan terhadap semua agama yang diakui secara resmi, namun pasal ini biasanya berlaku pada kasus-kasus yang melibatkan penghinaan dan penodaan terhadap Islam.
Masalah penerapan Syariah Islam menimbulkan kontroversi dan keprihatinan selama periode pelaporan. Aceh tetap merupakan satu-satunya propinsi dimana pemerintah pusat secara khusus memberikan wewenang untuk penerapan Syariah Islam. Keputusan Presiden No. 11/2003 secara formal mengesahkan Pengadilan Syariah di Aceh. Namun, beberapa pemerintahan daerah secara resmi memberlakuan peraturan daerah yang diilhami oleh syariah Islam.
Menurut Koalisi Perempuan Indonesia, paling sedikit ada 46 peraturan daerah berbasis syariah yang telah dikeluarkan pemerintah daerah. Ini mencakup peraturan yang mewajibkan perempuan untuk mengenakan penutup kepala di muka umum; memerintahkan para pejabat terpilih, pelajar, pegawai negeri, dan penduduk yang ingin mendapatkan ijin nikah untuk dapat membaca Qur’an dalam bahasa Arab; dan melarang meminum minuman beralkohol dan berjudi. Selama periode pelaporan, pemerintah tidak menggunakan hak hukumnya dalam masalah-masalah keagamaan untuk meninjau atau membatalkan peraturan-peraturan kontroversial ini yang bertentangan dengan UUD.
Misalnya, menurut seorang pejabat senior pemda, 18 dari 22 kabupaten di Sulawesi Selatan mengadopsi aspek-aspek hukum syariah Islam. Penerapannya berkisar antara pelaksanaan cara berbusana Islami bagi perempuan di muka umum hingga larangan minuman beralkohol dan perjudian. Kabupaten Bulukumba di Sulawesi Selatan memiliki empat peraturan daerah yang melaksanakan elemen-elemen Syariah untuk semua Muslim. Kabupaten Bulukumba dan Bone telah melaksanakan elemen-elemen khusus dimana kepala desa, calon kepala daerah, pelajar sekolah menengah, dan mereka yang ingin mendapatkan ijin nikah harus dapat membaca Qur’an dalam literatur Arab. Di Padang, Sumatera Barat, walikota menginstruksikan semua muslimah untuk mengenakan penutup kepala dan pihak berwenang setempat memberlakukan persyaratan ini. Peraturan tersebut tidak berlaku bagi non-muslim. Beberapa kabupaten telah mengeluarkan peraturan yang menghalangi perempuan mendapatkan layanan umum pemerintah jika mereka tidak mengenakan penutup kepala. Beberapa tempat lain memiliki peraturan daerah yang serupa dengan Kabupaten Bulukumba.
Peraturan daerah di Kabupaten Pamekasan, Madura mengharuskan para pegawai negeri sipil yang beragama Islam mengenakan busana Muslim dan menghentikan baik aktivitas publik maupun pekerjaan saat azan tiba.
Di Tangerang, propinsi Banten, larangan bermesraan di muka umum, minuman beralkohol, dan prostitusi terus diberlakukan. Larangan-larangan ini berlaku bagi Muslim maupun nonmuslim. Pasal anti-prostitusi yang kontroversial secara tidak jelas mendefinisikan seorang pelacur sebagai orang yang menimbulkan kecurigaan berdasarkan sikap, perilaku, atau pakaian dan membebankan mereka yang dicurigai untuk membuktikan bahwa mereka tidak bersalah. Kelompok advokasi menantang konstitusionalitas peraturan Tangerang, tetapi pada bulan Maret 2007, Mahkamah Agung menguatkan larangan tersebut.
Pada bulan Oktober 2005, Kantor Wilayah Departemen Agama di Nusa Tenggara Barat mengeluarkan larangan terhadap 13 kelompok keagamaan, termasuk Ahmadiyah, Saksi Yehova, Hare Krishna, dan 9 bentuk aliran kepercayaan sebagai penyimpangan terhadap Islam, Kristen, dan Hindu. Larangan ini masih berlaku.
Selama periode pelaporan, panitia khusus DPR terus melakukan peninjauan terhadap versi revisi racangan undang-undang anti pornografi dan pornoaksi. Undang-undang ini pada awalnya diperkenalkan pada tahun 2004 sebagai Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi dan melarang sikap mempertunjukkan ”bagian tubuh yang sensual,” berciuman di muka umum, dan semua tulisan, karya seni, rekaman, atau siaran-siaran yang dengan jelas menampilkan seksualitas, dimana semuanya didefinisikan secara luas. Rancangan undang-undang tersebut mengundang debat nasional dan menimbulkan demonstrasi-demonstrasi besar baik yang mendukung maupun yang menentang. Para penentang undang-undang tersebut mengatakan undang-undang ini sebagai suatu usaha para pendukung undang-undang syariah untuk melaksanakan ayariah secara tidak langsung. Pada bulan Februari 2006, anggota legislatif Indonesia diberitakan telah merevisi RUU tersebut dengan mempertimbangkan tradisi-tradisi budaya dan sensitivitas masyarakat setempat serta merubah nama undang-undang tersebut menjadi Undang-undang Pornografi.
Undang-undang Perkawinan tahun 1974 melarang pegawai negeri melakukan poligami kecuali dalam keadaan-keadaan terbatas. Undang-undang perkawinan untuk umat Islam diambil dari syariah yang mengijinkan seorang pria memiliki hingga empat orang istri, dengan syarat ia mampu bersikap adil. Seorang pria yang menikahi istri kedua, ketiga atau keempatnya harus mendapatkan ijin pengadilan dan ijin dari istri pertamanya; namun, pada prakteknya hal ini selalu tidak dipenuhi. Banyak perempuan yang dilaporkan sulit untuk menolak, dan kelompok perempuan muslim tetap terbagi dua antara yang mendukung perlunya sistem ini direvisi dengan yang tidak mendukung.
Perceraian tetaplah merupakan pilihan hukum yang tersedia bagi pengikut semua agama, tetapi Muslim yang ingin bercerai umumnya harus melalui Pengadilan Agama Islam, sementara nonmuslim dapat bercerai melalui pengadilan umum. Pada kasus-kasus perceraian, terbukti bahwa perempuan seringkali menanggung beban yang lebih berat dibandingkan pria, khususnya dalam sistem pengadilan agama berdasarkan hukum Islam. Undang-undang mengharuskan mantan suami untuk memberikan tunjangan atau yang setara, tetapi tidak terdapat mekanisme pelaksanaannya dan perempuan yang diceraikan jarang menerimanya.
Pada bulan Desember 2006, seorang ulama Muslim terkemuka, Aa Gymnastiar, mengumumkan bahwa ia telah menikahi istri keduanya. Pernikahan kedua Gymnastiar menjadi masalah nasional ketika buntut dari pemberitaan tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memanggil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan para pejabat dari Departemen Agama untuk membahas kontroversi atas pernikahan poligami. Sejak itu Departemen Pemberdayaan Perempuan mengumumkan bahwa Pemerintah sedang mempertimbangkan untuk memperluas larangan berpoligami hingga mencakup semua pejabat negara, termasuk anggota parlemen dan para prajurit. Usulan tersebut menerima dukungan antusias dari Muslim yang berpikir maju dan dari banyak kalangan perempuan, tetapi menadapatkan tentangan keras dari para konservatif agama yang berpendapat bahwa poligami diijinkan dalam Islam dan karena itu tidak boleh dilarang oleh hukum sekuler.
Pemerintah mengijinkan praktek sistem keyakinan tradisional Aliran Kepercayaan sebagai manifestasi budaya, bukan sebagai suatu agama. Para pengikut Aliran Kepercayaan harus mendaftar ke Departemen Pendidikan. Pihak berwenang daerah pada umunya menghargai penganut Aliran Kepercayaan ini dalam mempraktekkan keyakinannya.
Pada tanggal 28 Juni 2007, Pemerintah mengeluarkan Peraturan No. 37/2007 yang mengacu ke Undang-undang Administrasi Kependudukan dan Perkawinan. Peraturan baru mengijinkan para pemuka Aliran Kepercayaan untuk memimpin upacara perkawinan dan meminta kantor catatan sipil untuk mendaftarkan ijin nikah yang ditandatangani oleh pemimpin perkawinan tersebut, sehingga membuat perkawinan-perkawinan ini diakui secara resmi. Namun, peraturan pelaksanaan atau panduan teknis lain belum dikeluarkan hingga akhir periode pembuatan laporan.
Pemerintah nasional secara resmi tidak melarang kegiatan Ahmadiyah, tetapi beberapa pemerintah daerah melarangnya. Walaupun yurisdiksi pemerintah pusat meliputi urusan-urusan keagamaan, masalah administrasi kian sulit mengambil posisi yang jelas atas larangan-larangan daerah terhadap Ahmadiyah tersebut.
Beberapa hari raya umat Islam, Kristen, Hindu, dan Budha menjadi hari libur nasional. Hari besar Islam yang diakui mencakup Isra’ Mi’raj, Idul Fitri, Idul Adha, Tahun Baru Islam, dan Maulid Nabi Muhammad SAW. Hari besar Kristen adalah Natal, Wafatnya Isa Almasih, dan Kenaikan Isa Almasih. Tiga hari libur nasional lainnya adalah hari raya Nyepi umat Hindu, Hari Raya Waisak umat Budha, dan Tahun Baru Cina (Imlek) yang dirayakan oleh pemeluk Konghucu dan masyarakat Tionghoa lainnya. Di Bali, semua hari raya Hindu adalah hari libur daerah, dan PNS serta pegawai lainnya tidak bekerja pada hari Saraswati, Galungan dan Kuningan.
Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, sepanjang bulan puasa Ramadhan Muslim, banyak Pemerintah daerah yang memerintahkan penutupan atau pengurangan jam operasi berbagai tempat hiburan. Pada tahun 2006 di Jakarta, lagi-lagi SK gubernur memerintahkan penutupan bar-bar bukan hotel, diskotik, klub malam, spa sauna, panti pijat, dan pertunjukan musik hidup selama sebulan. Tempat-tempat biliar, bar karaoke, bar hotel, dan diskotik diijinkan untuk beroperasi maksimal empat jam per malam. Beberapa pemeluk agama minoritas dan sebagian Muslim yakin bahwa peraturan ini melanggar hak-hak mereka.
Berdasarkan UU No. 17/1999, pemerintah memiliki monopoli atas penyelenggaraan ibadah Haji. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa Departemen Agama bertanggung jawab untuk memberikan bimbingan, layanan, dan perlindungan kepada mereka yang sedang menunaikan ibadah Haji. Departemen juga menetapkan biaya berkaitan dengan Haji dan mengeluarkan paspor haji.
Pada tahun 2003, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Pendidikan Nasional. Pada akhir periode pembuatan laporan, Presiden tidak menandatangani peraturan pelaksanaan mengenai pengajaran agama dan pendidikan agama. Peraturan ini memerintahkan pengajaran agama dalam salah satu dari enam agama resmi saat diminta oleh seorang pelajar. Undang-undang sebelumnya mengharuskan semua siswa untuk mengambil pelajaran agama dalam salah dari lima agama, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Budha, dan Hindu.
Pemerintah melarang ajakan untuk pindah agama dengan alasan bahwa kegiatan tersebut, khususnya di wilayah-wilayah yang didominasi oleh anggota agama lain, terbukti mengganggu. Pada tahun 1979 Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri mengeluarkan surat keputusan yang melarang usaha-usaha permurtadan.
Pemerintah membentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1975 dan terus mendanai dan menunjuk para anggotanya. MUI bukanlah badan resmi pemerintah. Namun, maklumat atau fatwa-fatwanya dijadikan dasar bimbingan moral bagi umat Islam. Walaupun pendapat-pendapat MUI tidak mengikat secara hukum, masyarakat dan pemerintah secara serius mempertimbangkan mereka saat membuat berbagai keputusan atau menyusun undang-undang. Di tahun 2005, MUI nasional mengeluarkan 11 fatwa, termasuk sebuah fatwa yang melarang Ahmadiyah. Fatwa-fatwa tersebut sangat berpengaruh pada diskriminasi resmi dan sosial terhadap Ahmadiyah dan kelompok agama minoritas lainnya selama periode pelaporan.
Periode pembuatan laporan, beberapa pejabat pemerintah dan para pemimpin politik terkemuka berinteraksi di forum-forum dan seminar-seminar publik dengan para pemuka agama dan kelompok antar agama seperti Gerakan Anti Diskriminasi Indonesia (GANDI) dan Solidaritas Nusa Bangsa.
Undang-undang tidak mendiskriminasikan kelompok agama apapun dalam lapangan pekerjaan, perumahan, atau layanan kesehatan.

Pembatasan-pembatasan terhadap Kebebasan Beragama
Kebijakan dan tindakan pemerintah berpengaruh pada praktek praktek beragama yang secara umum bebas. Namun, kebijakan-kebijakan, undang-undang, dan tindakan-tindakan resmi tertentu membatasi kebebasan beragama, dan pemerintah terkadang mentolerir diskriminasi dan kekerasan terhadap para individu dikarenakan keyakinan agama mereka yang dilakukan oleh para pelaku individu. Tidak ada laporan mengenai adanya penahanan para pelaku tersebut di negara ini.
Pemerintah mengharuskan semua warga negara dewasa untuk membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang, antara lain, menunjukkan identitas agama. Pemeluk agama yang tidak diakui pemerintah umumnya tidak dapat memperoleh KTP kecuali bila mereka mengaku sebagai pengikut dari agama yang diakui. Selama periode pelaporan, kelompok hak asasi manusia terus menerima laporan sporadis bahwa ada petugas Catatan Sipil daerah yang menolak pengajuan permohonan pemeluk agama yang tidak diakui pemerintah atau agama minoritas. Yang lainnya menerima permohonan tetapi mengeluarkan KTP-KTP yang mencatumkan keterangan yang tidak akurat mengenai agama pemohon. Beberapa penganut animisme menerima KTP yang menyebutkan bahwa mereka beragama Islam. Banyak penganut Sikh yang dicantumkan sebagai penganut Hindu dalam KTP dan akte perkawinan mereka karena pemerintah tidak secara resmi mengakui agama mereka. Warganegara yang tidak memiliki KTP mendapati kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan. Sebagian organisasi swadaya masyarakat dan kelompok advokasi agama terus mendesak pemerintah untuk menghapus kategori agama dalam KTP.
Sistem pencatatan sipil membatasi kebebasan beragama orang yang tidak menganut salah satu dari enam agama yang diakui; animisme, Baha’i, dan penganut kepercayaan minoritas lain mengalami kesulitan dalam mendaftarkan perkawinan atau kelahiran, meskipun terdapat peraturan pada bulan Juni 2007 yang berkaitan dengan administrasi perkawinan dan sipil. Pada prakteknya, pasangan yang dihalangi untuk mendaftarkan pernikahan mereka atau kelahiran seorang anak sesuai dengan keyakinan mereka masuk ke dalam agama yang diakui atau menyatakan seolah-olah mereka penganut salah satu dari enam agama yang diakui. Mereka yang memilih untuk tidak mencatatkan perkawinannya atau kelahiran anaknya di masa mendatang akan menemui kesulitan seperti: seorang anak yang tidak memiliki akte kelahiran tidak dapat masuk sekolah dan tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan beasiswa. Mereka yang tidak memiliki akte kelahiran tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan pekerjaan di kantor pemerintahan.
Pria dan wanita beda agama akan terus menghadapi hambatan untuk menikah dan mendaftarkan pernikahan mereka secara resmi. Para pasangan ini mengalami kesulitan dalam mencari pemuka agama yang bersedia melaksanakan upacara pernikahan antar agama; upacara pernikahan agama harus dilakukan sebelum suatu pernikahan dapat didaftarkan. Akibatnya, sebagian orang berpindah agama untuk dapat menikah. Lainnya, menikah di luar negeri dan kemudian mendaftarkan pernikahannya di Kedutaan Besar Indonesia. Meskipun merupakan sebagai salah satu agama yang diakui secara resmi, umat Hindu mengatakan bahwa seringkali mereka harus menempuh jarak yang jauh untuk mendaftarkan pernikahan mereka karena di banyak daerah pedalaman karena pemerintah daerahnya tidak dapat atau tidak mau melakukan pencatatan.
Kelompok keagamaan dan organisasi sosial harus mendapatkan ijin untuk mengadakan konser keagamaan atau kegiatan lainnya di hadapan publik. Pemerintah biasanya memberikan ijin dengan cara yang tidak berat sebelah kecuali terdapat kekhawatiran bahwa kegiatan tersebut akan menimbulkan kemarahan kelompok agama lain di wilayah tersebut.
Ceramah agama dapat diberikan jika disampaikan ke penganut agama yang sama dan tidak dimaksudkan untuk mengajak orang pindah keyakinan. Program keagamaaan yang ditayangkan di televisi tetap dibatasi, dan pemirsa dapat menyaksikan program religi yang ditawarkan oleh agama manapun yang diakui.
Tidak ada batasan atas publikasi materi keagamaan atau penggunaan simbol-simbol agama; namun, pemerintah melarang penyebaran materi-materi keagamaan kepada pemeluk agama lain.
Tentara Nasional Indonesia menyediakan sarana dan program keagamaan, termasuk kebaktian dan pertemuan keagamaan di semua komplek perumahan bagi prajurit yang melakukan ibadah agama yang diakui secara resmi. Walaupun setiap komplek perumahan militer wajib menyediakan masjid, gereja Katolik dan Protestan, dan pusat ibadah atau kuil untuk umat Budha dan Hindu, kompleks perumahan yang lebih kecil jarang menyediakan sarana ibadah untuk keenam agama.
Sejak pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama yang direvisi mengenai Pendirian Rumah Ibadat pada bulan Maret 2006, yang merupakan revisi surat keputusan tahun 1969, pelaksanaan dan pembelaan hak-hak yang diberikan di bawah SKB tersebut tidak selalu dilaksanakan di tingkat daerah. Selama periode pelaporan, sebagian umat Kristiani dan Hindu menunjukkan adanya tindakan diskriminasi secara sporadis, dimana pemerintah daerahnya menolak memberikan ijin pembangunan gereja dan kuil walaupun kelompok tersebut telah mengumpulkan tanda tangan sesuai dengan yang diminta. Misalnya, Parisadha Hindu Dharma Indonesia melaporkan bahwa mereka tetap tidak bisa mendirikan sebuah kuil di dekat Jakarta walaupun telah mengumpulkan persyaratan tanda tangan yang diminta.
Di Aceh, upaya untuk mendidik masyarakat tentang syariat dan pelaksanaannya terus dilakukan. Selama bulan Ramadan, penjaga toko menutup usaha mereka untuk sholat Zuhur dan rumah makan tetap tutup sepanjang hari. Propinsi Aceh mengerahkan ratusan polisi syariat untuk menegakkan syariat. Mereka bekerjasama dengan polisi pamong praja untuk menyelidiki dan mengusut berbagai pelanggaran. Kadang polisi syariat menahan beberapa orang untuk ”mendidik masyarakat” jika tertangkap tidak berbusana Muslim atau berkencan tanpa didampingi muhrimnya, tetapi polisi pada umumnya tidak menahan atau menuntut mereka dengan dakwaan pidana. Kota Banda Aceh tidak lagi mengerahkan ”Brigade Masjid” untuk mengawasi penggunaan pakaian Muslim yang pantas. Pada tanggal 17 Agustus 2006, 15 petugas polisi syariat dan 10 anggota polisi merazia kompleks perumahan Program Pangan Dunia PBB di Banda Aceh. Alasan dilakukannya razia tersebut beragam karena dilaporkan berkaitan dengan narkoba atau alkohol.
Organisasi keagamaan asing harus mendapatkan ijin Departemen Agama untuk memberikan jenis bantuan apapun (barang, orang, atau uang) kepada kelompok-kelompok keagamaan.
Misionaris asing harus mendapatkan visa tinggal terbatas untuk rohaniawan. Sebagian kelompok Kristen mengatakan bahwa misionaris Kristiani menemui kesulitan untuk mendapatkan atau memperpanjang visa. Persyaratan untuk visa tinggal terbatas untuk rohaniawan lebih sukar diperoleh daripada visa kategori lain. Mereka tidak hanya meminta persetujuan dari kantor wilayah Departemen Agama, mulai dari tingkat daerah hingga ke pusat, tetapi juga data statistik tentang jumlah pemeluk agama tersebut di masyarakat dan pernyataan yang menegaskan bahwa pemohon tidak akan bekerja lebih dari dua tahun di negara ini sebelum digantikan oleh warganegara setempat. Misionaris asing yang mendapatkan visa tersebut bekerja relatif tanpa hambatan. Banyak misionaris yang fokus utama kegiatannya pada pembangunan berhasil memperoleh visa kunjungan sosial di Departemen Kesehatan atau Departemen Pendidikan Nasional.

Penyalahgunaan Kebebasan Beragama
Selama periode pelaporan, ada laporan-laporan mengenai penyalahgunaan kebebasan beragama di seluruh wilayah negara ini.
Selama periode pelaporan, seperti pada periode sebelumnya, pemerintah terus secara jelas dan tegas melarang kebebasan beragama kelompok-kelompok yang berkaitan dengan bentuk-bentuk Islam yang dipandang di luar aliran utama. Selama periode pelaporan pula, pemerintah menahan dan menuntut beberapa orang dengan tuduhan aliran sesat, penghujatan, dan penghinaan terhadap Islam.
Pada bulan Mei 2007, di Kabupaten Lebak, Jawa Barat, Departemen Agama menghimbau pengikut ajaran ”Islam Sejati” untuk kembali kepada ajaran Islam yang benar. Beberapa hari kemudian, pada tanggal 15 Mei 2007, MUI Propinsi Banten, Jawa Barat, mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa kelompok tersebut menyimpang karena para anggotanya hanya sholat tiga kali sehari dan tidak menghadap ke Kiblat ketika melaksanakan sholat.
Selama periode pelaporan, 187 anggota Ahmadiyah terus hidup di penampungan pengungsi di Mataram, Lombok. Mereka telah hidup di kamp tersebut sejak adanya serangan yang dilakukan oleh Muslim setempat pada bulan Februari dan Maret 2006 yang menghancurkan rumah-rumah dan masjid mereka. Perwakilan Ahmadiyah di Lombok mengangkat masalah keamanan pada tanggal 24 Juli 20065 dengan perwakilan Konsulat Australia di Bali. Mereka meminta suaka dari penyiksaan Muslim setempat. Pada bulan Mei 2007, Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat menyatakan bahwa Ahmadiyah diijinkan oleh hukum untuk mencari suaka di negara lain.
Kekerasan dan tindakan terhadap komunitas Ahmadiyah meningkat setelah MUI mengeluarkan fatwanya di bulan Juli 2005 yang menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Di tahun 2005 sejumlah kebijakan, undang-undang, dan tindakan resmi membatasi kebebasan beragama komunitas Ahmadiyah di wialayah-wilayah lain. Walaupun dengan penjagaan ketat aparat ketika terjadi dua serangan atas jamaah Ahmadiyah di Jawa Barat pada bulan Juli, polisi tidak menahan siapapun. Pemerintah daerah kemudian memberlakukan larangan terhadap Ahmadiyah di Jawa Barat, dan mereka tidak diperkenankan menggunakan komplek ibadah mereka. Pada masa akhir periode pembuatan laporan, tidak ada tindakan yang diambil terhadap para pelaku peristiwa tersebut. Pemerintah terus mentolerir diskriminasi dan kekejaman terhadap Ahmadiyah dengan tetap diam mengenai fatwa MUI tahun 2005, status hukum Ahmadiyah, dan larangan oleh pemerintah daerah.
Puluhan orang di Pasuruan, Jawa timur, mendatangi dua rumah milik M. Thoyib dan Rochamim pada tanggal 9 April 2007, dan menuduh mereka mempraktekkan animisme. Kedua pria tersebut sebelumnya menjalankan agama Islam, tetapi kemudian diduga keras memeluk animisme dan melaksanakan upacara ritual animisme di makam-makam. Para tetangga mengadukan mereka sebagai pelaku ajaran sesat. Polisi setempat menahan dan menanyai keduanya mengenai kegiatan mereka. Mereka tidak ditahan atau dikenai tuduhan; tetapi, keduanya memilih tetap berada dalam penjagaan polisi demi keselamatan mereka sendiri selama dua minggu sebelum kembali ke rumah.
Pada bulan April 2007, Kepolisian Wilayah Malang menahan delapan orang yang dituduh menyebarkan video ”pelatihan doa” yang dibuat oleh Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia di Batu, Jawa Timur. Video tersebut diduga menggambarkan 30 umat Kristiani yang diperintahkan oleh pemimpin mereka untuk meletakkan Al Qur’an di lantai pada pertemuan di bulan Desember 2006. Setelah penahanan awal, 33 orang kembali ditahan dengan tuduhan penistaan agama berkaitan dengan video-video tersebut. Para pemuka gereja Kristen membantah dugaan bahwa Kristen terlibat dalam pembuatan atau penyebaran video-video tersebut. Di akhir periode pembuatan laporan, 41 orang yang ditahan masih menunggu sidang pengadilan.
Pada tanggal 28 Juni 2006, Pengadilan Negeri Polewali, Sulawesi Selatan, menjatuhkan hukuman kepada Sumardi Tappaya, seorang guru agama Islam sebuah SMU, dengan 6 bulan penjara untuk penghinaan agama setelah seorang kerabat menuduhnya sholat sambil bersiul. MUI setempat menyatakan bahwa perbuatan itu sesat. Guru tersebut telah selesai menjalani hukumannya.
Pada tanggal 29 Juni 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Lia Eden, seorang pemimpin Kelompok Jamaah Salamullah, dengan 2 tahun penjara untuk penodaan terhadap ajaran agama. MUI mengeluarkan fatwa pada tahun 1997 yang menyatakan bahwa ajaran Jamaah Salamullah sesat.
Pers melaporkan bahwa pada bulan Mei 2006, DPRD Banyuwangi, Jawa Timur melakukan pengambilan suara untuk memecat Bupati Banyuwangi, Ratna Ani Lestari. Ratna yang terlahir sebagai seorang Muslim, oleh para pelaku pemecatan dituduh menghina Islam dengan mempraktekkan agama yang berbeda dari yang disebutkan dalam KTP-nya. Para pendukung Ratna menyatakan bahwa Ratna adalah sasaran kampanye pemfitnahan bermotivasi agama disebabkan pernikahannya dengan pria Hindu. Ratna tetap menjadi bupati karena pengadilan menyatakan bahwa tidak cukup quorum saat pengambilan suara dilakukan. DPRD naik banding ke Mahkamah Agung yang hingga akhir periode pelaporan belum mengeluarkan keputusannya.
Pada tangga 12 April 2006, polisi di Banyuwangi, Jawa Timur, menahan lima aktivis Falun Dafa, dua di antaranya orang asing, yang membagikan surat edaran kepada penduduk setempat. Kemudian polisi mengaku bahwa penahanan kelima orang itu karena isi edaran memuat informasi mengenai partai Komunis Cina dan bukan karena mereka aktivis anggota Falun Dafa; mendistribusikan tulisan tentang Komunis tetap dilarang. Kelima aktivis Falun Dafa tersebut kemudian dibebaskan dan tidak ada tuduhan yang diajukan.
Sepanjang tahun 2006 Pemerintah Aceh menghukum cambuk setidaknya 25 orang karena meminum minuman beralkohol, 59 orang karena berjudi, dan 32 orang karena berdua-duaan dengan lawan jenis yang tidak memiliki hubungan darah.
Forum Komunikasi Kristen Indonesia mengaku bahwa delapan gereja kecil tidak berijin di Jawa Barat telah ditutup selama periode pelaporan oleh kelompok ekstrimis Muslim walaupun dalam peraturan yang direvisi rumah ibadah diberikan tenggang waktu 2 tahun untuk mendapatkan ijin setiap permohonan baru. Pada tahun 2006, kelompok militan menutup dua gereja secara paksa tanpa intervensi polisi. Penutupan 20 gereja lainnya pada tahun 2006 di bawah tekanan kelompok militan setelah pengumuman surat keputusan yang direvisi tetap ditutup, menurut Forum tersebut. Walaupun ada penjagaan, polisi jarang bertindak untuk mencegah penutupan gereja secara paksa dan terkadang membantu para kelompok militan melakukan penutupan tersebut. Di awal Juni 2006, Pemerintah pusat mengumumkan niatnya untuk mengambil tindakan keras terhadap kelompok militan agama tersebut atas perilaku membahayakan mereka terhadap tempat-tempat ibadah dan sasaran lainnya. Di akhir periode pembuatan laporan, tidak ada laporan khusus mengenai tindakan yang diambil.
Pada bulan November 2005, polisi setempat menahan seorang asing dan seorang WNI yang bekerja pada proyek kemanusiaan Kristen untuk pembangunan bendungan di pulau Madura. Polisi bertindak setelah pemuka agama setempat menuduh keduanya melakukan permurtadan. Tuduhan dipicu kecemburuan para pemuka agama karena masyarakat mereka tidak menerima proyek serupa. Jaksa mendakwa sang WNI, yang terus mengenalkan versi bukan Islam tradisional kepada masyarakat, dengan tuduhan penghinaan terhadap suatu agama, dan pengadilan menghukumnya 2 ½ tahun penjara. Orang asing tersebut dijatuhi hukuman untuk pelanggaran keimmigrasian dan dihukum 5 ½ bulan, dan dideportasi.
Pada bulan Oktober 2005, polisi di Sulawesi Tengah mendatangi aliran Madi setelah penduduk dari desa tetangga mengeluh bahwa para pengikut aliran tersebut tidak berpuasa atau melaksanakan sholat taraweh selama bulan Ramadan. Tiga polisi dan dua anggota aliran tewas dalam bentrokan. Pengikut aliran tersebut diberitakan menahan dua petugas kepolisian sebagai tawanan tetapi kemudian dilepaskan. Lima pengikut aliran Madi diadili oleh pengadilan daerah dengan tuduhan menyebabkan kematian personil polisi; pada bulan Januari 2006, mereka dijatuhi hukuman penjara antara 9 hingga 12 tahun.
Pada bulan September 2005, pengadilan di Jawa Timur menghukum enam terapis narkoba dan kanker di sebuah pusat rehabilitasi di Jawa Timur dengan hukuman masing-masing 5 tahun penjara dan tambahan 3 tahun penjara atas dakwaan melanggar ajaran Islam dengan menggunakan metode penyembuhan paranormal. MUI setempat menyatakan bahwa metode penyembuhan pusat rehabilitasi mereka sesat. Polisi menahan para terapis saat mereka berusaha mempertahankan diri dari serangan ratusan orang ke kantor mereka. Pusat rehabilitasi tersebut ditutup dan keenam penasehat mulai menjalankan hukuman mereka selama periode pelaporan.
Pada bulan Agustus 2005, Pengadilan Negeri Malang, Jawa Timur, menvonis Muhammad Yusman Roy dua tahun penjara karena sholat menggunakan dua bahasa, yaitu Indonesia dan Arab, yang oleh MUI dinyatakan sebagai hal yang menodai keaslian ajaran Islam yang berbahasa Arab. Roy bebas dari penjara pada tanggal 9 November 2006 setelah menjalani masa tahanan selama 18 bulan.
Pada bulan Juni 2005, polisi mendakwa dosen Universitas Muhammadiyah di Palu atas tuduhan penghinaan. Mereka menahannya selama 5 hari kemudian menetapkannya sebagai tahanan rumah, setelah 2.000 orang memprotes artikel mengenai pendapatnya berjudul ”Islam, Agama yang Gagal”. Artikel tersebut, antara lain menyoroti penyebaran korupsi di negara ini. Dosen tersebut dibebaskan dari tahanan rumah dan kemudian dipecat oleh Universitas.
Pada bulan September 2005, sebuah pengadilan menghukum tiga orang wanita dari Gereja Kristen Kemah Daud dengan hukuman 3 tahun penjara di bawah UU Perlindungan Anak untuk dugaan Kristenisasi anak-anak Muslim. Para wanita tersebut mengaku bahwa anggota keluarga telah memberikan ijin kepada anak-anak mereka untuk mengikuti program pemuda Kristen. Mahkamah Agung menolak banding para wanita tersebut di tahun 2006. Mereka menjalani dua tahun hukuman dan kemudian bebas bersyarat pada tanggal 11 Juni 2007.
Peraturan daerah berdasarkan syariah tentang anti pelacuran terdapat di seluruh wilayah negara ini. Peraturan ini juga terdapat di Tangerang, Jawa Barat, di mana DPRD mengeluarkan peraturan dengan kalimat yang tidak jelas pada tanggal 21 November 2005, yang melarang siapapun yang dicurigai sebagai pelacur, berdasarkan sikap atau perilakunya, berada di tempat-tempat umum. Di tahun 2006, Tangerang menahan dan mengadili puluhan wanita sebagai pelacur, termasuk seorang ibu dua orang anak yang sedang hamil yang dituduh sebagai pelacur karena menyimpan peralatan berhias dalam tasnya. Pada bulan April 2006, tiga orang dari para perempuan yang diadili di Tangerang mengajukan permohonan peninjauan ulang atas perda tersebut ke Mahkamah Agung, tetapi Mahkamah menetapkan pada tanggal 1 Maret 2007 bahwa perda tersebut sah dan tidak bertentangan dengan undang-undang lainnya yang lebih tinggi.

Pemaksaan untuk Berpindah Agama
Tidak ada laporan mengenai pemaksaan untuk berpindah agama, termasuk tentang warganegara AS yang diculik atau dipindahkan secara ilegal dari Amerika Serikat, ataupun pelarangan pengembalian warga AS tersebut kembali ke Amerika Serikat.

Anti Semitisme (Anti-Yahudi)
Sabili, majalah Islam yang bertiras luas, terus menerbitkan artikel-artikel dengan pernyataan-pernyataan dan tema-tema anti Semit. Majalah ini memperingatkan keberadaan kegiatan konspirasi ”Zionis” di negara ini. Sebuah CD yang diproduksi pada bulan September 2005 oleh badan komersial Trustco Multimedia yang memuat materi politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang menduduki 8 persen kursi di DPR, dan sebuah permainan anti Semit berjudul ”Tembak Yahudi”. PKS kemudian meminta Trustco Multimedia untuk menarik CD tersebut dari pasaran, dan tidak ada laporan lebih lanjut mengenai kemunculan CD tersebut di toko-toko eceran.
Pelanggaran oleh Organisasi-organisasi Teroris
Selama periode pelaporan, pemerintah berhasil mengadili dan menghukum 27 tersangka terorisme dan menahan paling tidak 47 tersangka teroris lainnya yang diharapkan akan diadili di masa mendatang. Persidangan ke-17 tersangka teroris tersebut sedang berlangsung dalam periode pembuatan laporan ini, sementara setidaknya 27 tersangka teroris lainnya berada dalam tahanan sambil menunggu sidang. Jumlah ini mencakup para tersangka yang berafiliasi pada Jamaah Islamiyah (JI) dan penduduk Poso, baik yang Kristen maupun Islam, yang terlibat dalam kekerasan terhadap kelompok keagamaan lainnya.
Pada tanggal 21 Maret 2007, Hasanuddin, salah satu pemimpin JI di balik peristiwa pemenggalan tiga pelajar putri Kristen di Poso pada bulan November 2005, dihukum 20 tahun penjara oleh pengadilan Jakarta atas perannya dalam pemenggalan kepala. Polisi Sulawesi Tengah menahan Hasanuddin pada sebuah penggerebekan di bulan Mei 2006. penahanannya menyoroti peranan kelompok militan daerah dan jaringan terorisme JI dalam serangan dengan kekerasan yang telah mengganggu propinsi ini.
Pada bulan Januari 2007, polisi menggerebek tersangka teroris, ekstrimis Muslim Dedi Pasaran yang ditembak mati sementara Abdul Muis ditangkap. Kedua pria ini membunuh seorang pemuka agama Kristen dan sekretaris Gereja Protestan Sulawesi Tengah, Pendeta Irianto Kongkoli, pada tanggal 22 Oktober 2006 di Palu, Sulawesi Tengah.
Pada bulan September 2006, Pengadilan Negeri Denpasar menghukum Mohammad Cholily dan Anief Solchanudin masing-masing dengan 18 dan 15 tahun penjara dan Dwi Widianto serta Abdul Aziz dengan 8 tahun penjara untuk perencanaan dan pelaksanaan pengeboman Bali tanggal 1 Oktober 2005. Tiga pelaku bom bunuh diri dari JI menewaskan 22 orang dan mencederai 100 orang di wilayah-wilayah turis Kuta dan Jimbaran di Bali selama serangan.
Pemerintah berhasil menghukum 6 orang untuk serangan bunuh diri bulan September 2004 di Kedutaan Besar Australia yang menewaskan 10 orang dan mencederai lebih dari 100 orang. Pada bulan September 2005, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghukum Rois dan Ahmad Hasan dengan hukuman mati, Saipul Bahri dengan hukuman penjara selama 10 tahun, dan 3 pelaku lain mendapatkan 3 hingga 7 tahun penjara. Pada bulan Desember 2005, Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan hukuman mati untuk Rois dan Ahmad Hasan. Pada bulan Januari 2006, Rois dan Hasan mengajukan banding ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung menguatkan keputusan hukuman mati Hasan pada bulan Mei 2006, tetapi belum memberikan putusan banding Rois hingga akhir periode pembuatan laporan ini.

Perkembangan dan Kemajuan Positif dalam Penghormatan terhadap Kebebasan Beragama
Pada bulan Februari 2006 saat berpidato di hadapan publik, Presiden memastikan kembali kepada warganegara keturunan Tionghoa bahwa hak-hak mereka secara hukum dan konstitusional dijamin dan meminta kantor catatan sipil di seluruh Indonesia untuk mencatatkan pernikahan Konghucu sebagaimana disyaratkan oleh undang-undang. Pidato Presiden tersebut yang disampaikan saat Tahun Baru Cina, mempermudah penganut Konghucu dalam memperoleh KTP yang menuliskan agama mereka dan mencatatkan perkawinan dan kelahiran Konghucu. Perwakilan komunitas Cina kembali dapat mempraktekkan agama Konghucu dengan cara yang relatif bebas selama periode pelaporan ini.
Tidak ada upaya khusus untuk membangun keharmonisan antar agama di beberapa propinsi.
Pemerintah Sumatera Utara terus mendukung sebuah organisasi, yaitu FORKALA, yang menyatukan perwakilan dari semua kelompok agama yang diakui dan menggalakkan dialog antara agama sebagai cara untuk menghindari konflik agama.
Selama periode pelaporan, kekerasan bermotivasi agama menurun secara signifkan di Maluku dan Maluku Utara. Kekerasan bermotif agama mencapai puncaknya terjadi akhir 1990an, dan terus berlanjut pada skala lebih kecil walau cukup mengganggu di tahun-tahun berikutnya. Namun, seperti di tahun-tahun sebelumnya, Sulawesi Tengah mengalami peledakan bom, penembakan secara sporadis, dan kekerasan lain walaunpun berbagai usaha untuk mengembalikan keamanan dan meningkatkan perdamaian terus dilakukan. Pejabat pemerintah bekerja sama dengan para pemuka agama Islam dan Kristen untuk meredakan ketegangan di kedua wilayah.
Maluku tetap tenang dan baik para pemuka agama dari masyarakat Islam maupun Kristen serta pemerintah daerah Maluku memperlihatkan komitmen yang kuat untuk meredakan ketegangan dan melakukan pembangunan kembali. Berbagai proyek pembangunan untuk membangun kembali gereja, masjid, dan rumah-rumah yang rusak telah dilakukan selama periode pelaporan. Kanwil Departemen Sosial Maluku mensponsori sebuah program di bulan September 2006 yang disebut ”Jembatan Persahabatan” yang dihadiri oleh 250 orang dari seluruh Maluku yang sebelumnya terlibat dalam konflik keagamaan tersebut. Umat Muslim dan Kristen menghabiskan satu hari untuk berkumpul bersama di Letuwaru, sebuah desa Kristen, dan kemudian pada hari berikutnya di Amahai, sebuah desa Muslim. Pimpinan daerah Maluku dan perwakilan masyarakat Islam maupun Kristen bergabung bersama di bulan November 2006 di Ambon untuk membahas cara-cara untuk terus meningkatkan proses perdamaian.
Selama periode pelaporan, para pemuka agama Islam dan Kristen dengan cepat mengecam segala upaya yang terus dilakukan untuk membuat Maluku tidak stabil. Ketua MUI Maluku dan ketua Sinode Gereja Maluku mengutuk dua insiden yang terjadi di bulan Maret 2007. Pada tanggal 3 Maret, bom rakitan berdaya ledak rendah diledakkan di pintu gerbang pelabuhan Ambon melukai 16 orang, dan pada tanggal 5 Maret polisi menyingkirkan alat peledak serupa di pusat perbelanjaan Ambon Plaza. Polisi memeriksa sedikitnya lima orang berkaitan dengan serangan tersebut, tetapi pelaku dan motif masih tidak jelas. Tidak ada penahanan. Para pemimpin agama memperlihatkan kerjasama kuat antar agama dan keinginan menjaga perdamaian di wilayahnya dengan segera dab sama-sama mengutuk berbagai insiden.
Situasi di Poso tetap tegang, tetapi polisi terus mengambil tindakan keras dan menahan beberapa tersangka dengan tuduhan terorisme dan kejahatan keras lainnya terkait dengan perselisihan agama di Sulawesi Tengah. Polisi daerah Sulawesi Tengah terus melindungi gereja-gereja dan rumah-rumah ibadah setempat sepanjang pelayanan keagamaan. Tindakan ini secara berangsur-angsur membangkitkan optimisme penduduk setempat bahwa siklus kekerasan telah menurun.
Sepanjang semester pertama tahun 2007, polisi di pulau Jawa menangkap 17 tersangka yang dicuriagi sebagai teroris JI untuk tuduhan merencanakan berbagai operasi dan menyembunyikan senjata dan bahan peledak, yang sebagian mereka kirimkan untuk mendukung berlanjutnya kekerasan di wilayah seperti Poso. Polisi menemukan rencana-rencana operasional dan menyita ratusan kilogram bahan peledak dan detonator, lusinan senapan, dan ribuan amunisi. Penahanan pemimpin operasional kunci JI, Abu Dujana di bulan Juni 2007 kemudian membenarkan tujuan-tujuan kekerasan kelompok tersebut.
Di akhir 2006 dan awal 2007, polisi menahan puluhan tersangka di Poso atas keterlibatan mereka dalam serangkaian serangan sektarian sejak tahun 2001. Sampai Februari 2007, polisi menyatakan bahwa mereka telah menahan 18 dari 29 orang ”paling dicari” yang dicurigai terlibat dalam kekerasan di Sulawesi Tengah. Menurut Kadiv Humas Polri, sebagian besar dari 18 orang yang ditangkap adalah anggota JI yang terhubung dengan kelompok militan Muslim Tanah Runtuh yang dituduh telah melakukan sebagian besar kejahatan mengerikan terhadap umat Kristen sejak tahun 2001.

Bagian III. Kekerasan Sosial dan Diskriminasi
Selama periode pelaporan, terdapat laporan-laporan mengenai kekerasan sosial dan diskriminai berdasarkan keyakinan atau praktek agama.
Menurut Forum Komunikasi Kristen Indonesia, kelompok militan memaksa penutupan delapan gereja kecil tidak resmi selama periode pelaporan. Front Pembela Islam (FPI), Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP), dan Divisi Anti Permurtadan (DAP) Forum Ulama Islam Indonesia, didukung beberapa komunitas Muslim setempat, mendalangi banyak penutupan gereja. AGAP dan FPI menyatakan bahwa mereka mentargetkan gereja-gereja yang beroperasi tanpa ijin pemerintah daerah dan masyarakat sekitarnya seperti disyaratkan dalam Surat Keputusan Bersama Menteri yang Direvisi mengenai Pendirian Rumah-rumah Ibadat, walaupun terdapat pemberian waktu dua tahun untuk mendaftarkannya secara resmi. Banyak dari gereja yang menjadi target beroperasi di rumah-rumah pribadi dan di ruko.
Pada tanggal 4 Juni 2007, sebuah kelompok militan menyerang dan merusak sebuah gereja Protestan kecil di komplek perumahan di Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang menuntut agar gereja tersebut ditutup. Para penyerang mengaku berasal dari AGAP, tetapi baik AGAP maupun DAP menolak bertanggung jawab. Dalam kejadian terkait sepuluh hari kemudian, lebih dari 100 orang berdemonstrasi menuntut penutupan rumah-rumah pribadi yang dijadikan gereja di Soreang.
Pada tanggal 4 April 2007, puluhan anggota DAP mendatangi Gereja Kristen Pasundan di Bandung, Jawa Barat, untuk menanyakan peristiwa yang baru saja terjadi dimana gereja melanggar perjanjiannya untuk tidak melakukan kegiatan pemurtadan di komunitas Muslim. Seorang anggota DAP menyatakan bahwa gereja tersebut menandatangani perjanjian tahun 2005 dengan kelompok anti pemurtadan AGAP untuk tidak melakukan upaya pemurtadan. Namun, anggota tersebut menduga bahwa gereja telah melanggar perjanjiannya dengan menjadikan beberapa Muslim di Garut dan wilayah-wilayah Pagauban Bandung pengikut agama Kristen dengan memberikan mereka uang. Para pemimpin gereja secara damai membahas masalah tersebut.
Pada tanggal 24 September 2006 sekitar 50 orang dari DAP menyerang dan mencoba menghancurkan Gereja Yayasan Penginjilan Roti Kehidupan Bandung Selatan, Jawa Barat, dengan alasan bahwa tingkat kebisingan kebaktian menganggu masyarakat setempat. Para penyerang memulai dengan menghancurkan atap dan mereka berhenti ketika polisi turun tangan. Gereja tersebut tidak lagi berfungsi.
Pada bulan September 2006, mendekati Ramadan, kelompok militan Muslim merazia kedai minuman keras dan tempat prostitusi di seluruh negeri. Pada tanggal 8 september 2006, ratusan anak muda merazia warung-warung minuman di pinggir jalan di Bogor, Jawa Barat, mencari minuman beralkohol untuk dihancurkan. Pada 8 September 2006, di Semarang, Jawa Tengah, polisi merazia sejumlah kedai minuman di sisi jalan yang menjual minuman beralkohol. Pada tanggal 13 September 2006, Gubernur Jakarta Sutiyoso meminta organisasi-organisasi massa untuk tidak main hakim sendiri dan menyatakan bahwa pengoperasian tempat-tempat hiburan sepanjang bulan Ramadhan sudah diatur dalam peraturan daerah dan ini adalah tanggung jawab Polisi.
Beberapa rumah ibadah, sekolah agama, dan rumah warga sekte Islam yang dianggap menyimpang diserang, dirusak, ditutup secara paksa, dihalangi pembangunannya oleh kelompok-kelompok militan dan massa di seluruh negara tersebut seperti yang digambarkan dalam contoh-contoh kasus berikut ini.
Pada tanggal 19 Juni 2007, puluhan anggota FPI dan kelompok garis keras lainnya berdemonstrasi di depan Mesjid Mahmud di Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat, menuntut Ahmadiyah dibubarkan. Demonstrasi tersebut merupakan balasan terhadap diadakannya Musyawarah Kerja Daerah (Mukerda) komunitas Ahmadiyah pada April 22, 2007. Pimpinan Ahmadiyah mengaku telah menerima ijin polisi untuk mengadakan pertemuan. Polisi dengan segera mengamankan mesjid dan menjaga para demonstran. Menyusul peristiwa tersebut, para pimpinan Ahmadiyah bertemu dengan pimpinan Muslim setempat, dan diskusi antara Ahmadiyah dan kelompok muda Islam menghasilkan satu diskusi publik berjudul, ”Negara Harus Melindungi Pengikut Ahmadiyah.” Namun, pada tanggal 26 Juni, 2007, kelompok yang sama berdemonstrasi menuntut DPRD Tasikmalaya membubarkan Ahmadiyah. DPRD menolak tuntutan tersebut, dan menyatakan bahwa masalah agama adalah kewenangan pemerintah pusat.
Pada tanggal 9 April 2007, polisi mencegah ratusan orang yang hendak menyerang sebuah pesantren milik Tajul Ali Murthado dengan menggunakan pisau dan golok di Sampang, Jawa Timur. Penduduk setempat menuduh Murtadho mengajarkan Islam yang menyimpang. Murtadho ditahan sebentar oleh Polisi dan kemudian dilepaskan. Polisi untuk sementara menutup pesantren tersebut tetapi dibuka kembali setelah situasi terkendali.
Pada tanggal 8 April 2007, di Jember, Jawa Timur, massa yang marah mengepung sebuah rumah milik Suwarno, seorang pemimpin kelompok Ikatan Ahlul Bait Indonesia (Ijabi), sebuah organisasi keagamaan Syiah. Mereka menuntut Ijabi tidak menyebarkan ajaran-ajaran Syiah. Polisi setempat memindahkan tiga pemimpin Ijabi termasuk Suwarno guna menenangkan situasi; massa kemudian dibubarkan. Para pemimpin Ijabi diperiksa polisi dan dilepaskan pada hari yang sama.
Pada tanggal 27 Maret 2007, Alih bin Hadi, seorang ulama di Bogor, Jawa Barat diculik dari dalam masjid oleh massa yang berjumlah sekitar 200 orang dan memukulinya hingga tewas. Alih berceramah bahwa umat Islam dapat pergi ke masjid sekitar daripada ke Mekah untuk menunaikan ibadah Haji. Ia juga mengatakan umat Islam dapat membayar zakat setelah hari raya Idul Fitri. Ajaran-ajaran Alih telah lama menimbulkan kemarahan penduduk setempat. Pada bulan Desember 2005, ia menandatangani perjanjian untuk menghentikan kegiatan masjid dan meninggalkan wilayah tersebut, tetapi kemudian ia kembali dan memperbarui kegiatan ceramahnya. Alih adalah bagian dari kelompok yang lebih besar yang disebut Yayasan Karisma Usada Mustika (Yaskum) yang sedang diselidiki oleh MUI Kabupaten Bogor dengan dugaan melakukan ajaran sesat selama periode pelaporan. Sekitar 1.000 anggota Yaskum berdemonstrasi di luar kantor polisi Bogor untuk memprotes pembunuhan terhadap Alih. Di akhir periode pembuatan laporan ini, tiga pria yang dicurigai merencanakan pembunuhan terhadap Alih telah ditahan polisi.
Pada tanggal 24 Desember 2006, didorong oleh ulama setempat, 500 penduduk desa yang marah di desa Jambesari, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur menyerang 150 anggota Ijabi yang sedang melaksanakan sholat dengan menghancurkan tiga rumah, sebuah musholah, dan sebuah mobil milik ketua Ijabi setempat. Para penduduk Suni setempat keberatan dengan kehadiran Syiah dalam komunitas mereka dan menuduh mereka sebagai orang-orang yang menyimpang dari ajaran Islam dan melakukan ajaran sesat. Polisi memindahkan dan memeriksa 17 anggota Ijabi selama delapan jam, tetapi tidak ada penahanan. Dua penghasut, Sumiko (aka Pak Lim) dan Burasim, kemudian ditahan dan dikenakan dakwaan pidana perusakan properti. Sidang mereka, yang sedang berlangsung, dimulai pada tanggal 2 Mei 2007. Jaksa menuntut hukuman 6 bulan penjara. Para pemimpin Ijabi melaporkan bahwa tidak ada insiden lagi sejak Desember itu.
Pada tanggal 29 Oktober 2006, penduduk mengamuk dan menyerang enam rumah milik anggota masjid Miftahus Salam dan pesantren di Bogor, Jawa Barat. Penduduk yakin bahwa masjid dan sekolah adalah pusat ajaran sesat. Sebelum penyerangan, Ustad Yusup Maulana yang merupakan kepala sekolah, diperiksa polisi. Dalam sebuah pernyataan tertulis, ia mengakui bahwa ia mengajarkan ide-ide yang tidak sesuai dengan hukum Islam kepada 40 murid sekolahnya. Pernyataannya membuat penduduk melakukan serangan. Polisi menahan Maulana dan menangkap dua perusuh, tetapi masih tidak jelas apakah mereka masih tetap dalam tahanan hingga akhir periode pembuatan laporan ini.
Pada tanggal 8 Agustus 2006, ratusan orang yang mengenakan topeng membakar sebuah sekolah asrama milik Datuk Buluh Perindu, di Sidera, Sulawesi Tengah. Penduduk menuduh Perindu sebagai guru spiritual Madi, yaitu sebuah aliran Islam minoritas. Polisi tidak melakukan penangkapan.
Pada tanggal 8 Maret 2007, sekitar 200 anggota FPI dan Forum Betawi Rempug, sebuah kelompok yang terdiri dari penduduk asli Jakarta, menyerang Sekolah Tinggi Theologia Injili Arastamar di Jakarta Timur yang menuntut agar sekolah tersebut ditutup karena para pelajarnya menyanyi hingga larut malam dan mengganggu masyarakat setempat. FPI juga menyatakan bahwa sekolah tersebut ilegal walaupun terdapat fakta bahwa sekoah tersebut memiliki ijin-ijin resmi baik untuk keberadaan bangunan maupun asrama baru. Polisi mengirimkan satu detasemen untuk menghentikan massa tersebut. Sekolah tersebut masih berfungsi hingga kini.
Pada tanggal 2 September 2006, sekelompok massa membakar Gereja Misi Evangelis di Siompi, Aceh Singkil, setelah tersebar berita bahwa gereja tersebut merencanakan kebaktian kebangkitan. Saat sejumlah besar umat Kristen berangkat menuju kebaktian tersebut, mereka dihadang oleh beberapa Muslim yang tidak menyetujui kebaktian kebangkitan tersebut. Polisi tidak menghalangi serangan tersebut. Pastor Luther Saragih ditahan sebentar oleh polisi dan diminta memulangkan umat Kristen tersebut. Kemudian pada malam itu, sekitar 100 orang dengan sepeda motor membakar gereja dan mencari Pastor Saragih dan istrinya yang sedang hamil. Pastor dan istrinya melarikan diri ke hutan dan bersembunyi disana hingga mereka ditemukan selamat oleh teman-temannya di pagi harinya. Pastor Saragih dan istrinya kemudian pindah untuk menghindar karena masih terus menerima ancaman.
Warga Muslim secara rutin melaporkan adanya kesulitan untuk membangun masjid di wilayah-wilayah minoritas Muslim di Papua, Sulawesi Utara, dan tempat-tempat lainnya.
Kadang-kadang, kelompok garis keras menggunakan tekanan, intimidasi, atau kekerasan terhadap mereka yang membawa pesan bersifat menghina. Walaupun masih mendapat kritik dari kelompok Islam garis keras, Jaringan Islam Liberal (JIL) tetap menyerukan penafsiran pribadi tentang ajaran Islam dan toleransi beragama. JIL mengkonfrontasi kelompok garis keras di forum-forum umum, termasuk seminar-seminar. Kelompok militan yang mengaku menegakkan moralitas masyarakat terkadang menyerang kafe dan klub malam yang mereka anggap sebagai ajang prostitusi atau yang tidak membayaran kepada mereka.
Perpindahan agama tanpa paksaan terjadi sebagaimana diperbolehkan secara hukum, tetapi tetap saja merupakan sumber kontroversi. Sebagian orang berpindah agama karena menikah dengan orang beda agama; yang lain berpindah agama akibat penyebaran agama atau kegiatan sosial yang diorganisir oleh kelompok agama. Sebagian Muslim menuduh misionaris Kristen menggunakan pembagian makanan dan program kredit mikro untuk memikat Muslim miskin pindah agama. Sebagian orang yang berpindah agama terpaksa tidak memberitahukan kepindahan agama mereka karena alasan keluarga dan tekanan masyarakat.
Di sulawesi Tengah, ketegangan politik dan ekonomi antara populasi Kristen dan Muslim yang jumlahnya hampir seimbang terus menyulut berbagai tindak kekerasan yang mengakibatkan kematian selama periode pelaporan. Berbagai tindak kriminalitas tersebut kelihatannya terjadi dengan motif agama.
Pada tanggal 22 September 2006, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marianus Riwu dihukum mati akibat peran mereka dalam kekerasan sektarian di Poso pada tahun 2000 dan pada pembunuhan 191 Muslim di sebuah sekolah. Eksekusi tersebut menimbulkan kekerasan di daerah Flores dan Timor Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur, dan di Sulawesi Tengah, dengan beberapa kritikan bahwa penjatuhan hukuman dan eksekusi ketiga pria Kristen tersebut adalah sebuah kasus diskriminasi yang dilakukan oleh pihak berwenang. Di Flores 3.000 orang melakukan kerusuhan dan membakar paling sedikit 3 bangunan pemerintahan. Di Kefamananu dan Atambua, Timor Barat, antara 3.000 hingga 5.000 orang membuat kerusuhan dengan menghancurkan gedung-gedung pemerintahan, rumah-rumah, dan kendaraan.
Di Sulawesi Tengah, pada hari yang sama saat eksekusi dilaksanakan, dua orang Muslim, Arham Badaruddin dan Rendi Rahman, ditarik dari mobil mereka dan dipukuli hingga tewas saat melewati Taripa, sebuah desa yang didominasi komunitas Kristen. Polisi menangkap 17 orang yang ikut serta dalam pembunuhan tersebut, semuanya mengakui keterlibatan mereka. Para tersangka memberitahukan polisi bahwa para korban dibunuh karena eksekusi terhadap Tibo, Riwu, dan Da Silva. Pada tanggal 2 April 2007, jaksa penuntut di Jakarta menuntut ke-17 tersangka dengan undang-undang anti terorisme atas pembunuhan kejam terhadap 2 pria Muslim pada tanggal 23 September 2006. Ke-17 tersangka adalah penganut Kristen pertama dari Sulawesi Tengah yang dituntut dengan terorisme. Pada bulan Juni 2007, jaksa penuntut mengajukan argumen penutup dalam kasus ini dan keputusannya diharapkan akan keluar akhir musim panas 2007. Sementara itu hukuman maksimum adalah hukuman mati, para jaksa penuntut mengajukan permohonan 15 hingga 20 tahun penjara bagi para pelaku.
Beberapa peristiwa terjadi setelah eksekusi dilaksanakan pada bulan September 2006, termasuk 3 ledakan skala kecil, penyerangan baik terhadap umat Islam maupun Kristen, dan penyerangan terhadap Kepala Polisi Daerah Sulawesi Tengah yang mengakibatkan pengeroyokan dan penghancuran helikopter polisi oleh 5.000 massa. Polisi terus menyelidiki pengakuan terpidana mati Fabianus Tibo tentang tuduhan bahwa 16 orang Kristen lainnya yang menjadi otak di balik kekerasan di Sulawesi Tengah. Pada bulan April 2007, polisi Sulawesi Tengah kembali memriksa 10 dari 16 orang yang disebutkan oleh Tibo.

Bagian IV. Kebijakan Pemerintah AS
Misi diplomatik AS di Indonesia, termasuk Kedutaan Besar AS di Jakarta, Konsulat Jenderal di Surabaya, dan Konsulat di Medan, secara berkala berhubungan dengan pejabat Indonesia dalam isu-isu kebebasan beragama dan mendorong pejabat Kedutaan lain untuk membahas masalah ini dengan pemerintah. Staf Kedubes di semua level sering bertemu dengan para pemuka agama dan advokat hak asasi manusia untuk meningkatkan penghargaan terhadap kebebasan beragama. Staf Kedubes juga secara rutin mengadakan pertemuan dengan para pimpinan NU dan Muhammadiyah untuk menjelaskan kebijakan AS dan membahas toleransi antarumat beragama serta isu-isu lain.
Upaya penjangkauan Kedubes AS menekankan pada pentingnya kebebasan beragama dan toleransi dalam masyarakat yang demokratis. Selama periode pelaporan, Kedubes mempromosikan pluralisme dan toleransi melalui program-program pertukaran dan masyarakat madani.
Sebanyak 213 warga Indonesia telah mengunjungi Amerika Serikat dalam program jangka pendek, termasuk melihat peran agama di masyarakat dan politik AS. Para peserta program mengalami langsung bagaimana pluralisme agama, dialog antaragama, dan multikulturalisme menjadi bagian integral dalam masyarakat yang demokratis. Misalnya, satu program kepemimpinan pemuda menawarkan remaja Indonesia kesempatan untuk bertemu dengan rekan sebaya di Amerika. Mereka berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat, bertemu dengan para pemimpin agama dan terlibat dalam diskusi-diskusi mengenai toleransi beragama. Delapan penerima beasiswa Fulbright dari Indonesia berangkat ke Amerika Serikat untuk melanjutkan studi dan mengambil program-program studi yang langsung berkaitan dengan praktek agama dalam masyarakat demokratis. Tiga akademisi AS datang ke Indonesia untuk mengajar dan melakukan penelitian mengenai topik yang sama.
Kedubes AS berhasil menjangkau jutaan orang melalui produksi siaran media yang memberikan liputan mendalam mengenai isu kebebasan beragama dari perspektif Amerika. Ini termasuk program radio Greetings from America, yang secara berkala menampilkan topik-topik seperti kebebasan beragama, perbedaan agama, toleransi, dan pluralisme dari perspektif para pelajar sekolah menengah atas dan mahasiswa Indonesia yang tinggal di Amerika Serikat. Program radio ini mengudara 9 kali setiap minggunya dengan 10 juta pendengar potensial di 6 kota.
Kedubes AS juga mendanai pembuatan serial dokumenter televisi, The Colors of Democracy, yang diproduksi secara bersama-sama di Indonesia dan Amerika Serikat. Serial ini, pada awalnya mengudara setiap sore dari tanggal 5 Desember 2005 hingga 25 Januari 2006, secara berkala menampilkan topik-topik seperti kebebasan beragama dan dialog antaragama di Amerika Serikat. Misi diplomatik menyumbangkan 6.000 set video compact disc (VCD) berisikan The Colors of Democracy, yang menyoroti dampak positif kebebasan beragama, pluralisme, dan kegiatan antar agama untuk sekolah dan perpustakaan. Melalui perjanjian dengan Departemen Pendidikan yang ditandatangani pada tanggal 11 Oktoiber 2006, VCD-VCD dimasukkan dalam kurikulum pelatihan guru Departemen Pendidikan dan meliputi 32.000 sekolah di seluruh Indonesia.
Misi diplomatik AS terus mendanai Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. CRCS bekerja bersama Radio Republik Indonesia dalam pembuatan acara bincang-bincang dua bulanan yang mengangkat masalah kebebasan beragama, toleransi, dan demokrasi. Selain siaran radio langsung, program tersebut ditayangkan di TVRI Yogyakarta, yang memungkinkan dilakukannya penyebaran ide-ide ini kepada masyarakat di Yogyakarta dan daerah sekitar di Jawa Tengah. Isi program tersebut diterbitkan dalam surat kabar setempat. Pada bulan Desember 2006, CRCS memperluas diskusi publik mengenai isu-isu ini melalui pembuatan website.
Kedubes AS mendukung pembuatan dan produksi acara bincang-bincang di televisi dengan 12 episode berjudul Islam Indonesia. Program tersebut bertujuan mendidik kalangan kelas menengah dan profesional muda dan ditayangkan di televisi setiap dua minggu, dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mendengarkan, menyaksikan, dan terlibat secara aktif dalam debat interaktif melalui saluran telepon. Topik-topik yang dibahas mencakup kebebasan beragama, toleransi, dan pluralisme. Setiap episode menerima 12 hingga 33 telepon.
Berkaitan dengan majalah mingguan, Kedubes AS mendukung publikasi edisi suplemen untuk memberikan informasi obyektif mengenai usaha-usaha jaringan Muslim pro demokrasi untuk mendukung proses demokrasi, termasuk kebebasan beragama, toleransi, hak sipil, dan demokrasi. Majalah ini menyebarkan 90.000 salinan ke seluruh nusantara setiap minggunya dengan perkiraan jumlah pembaca 450.000 orang.
Misi diplomatik AS juga mendukung program seminar kampus yang bertujuan memperkuatkan pendukung pluralisme di kampus-kampus Islam dan menguatkan pemahaman tentang kebebasan beragama, toleransi, pluralisme, dan kesetaraan jender. Diskusi-diskusi publik diadakan di beberapa kampus di Jakarta, Serang, Rangkasbitung, Yogayakrta, Surabaya, Mataram, dan Medan bekerjasama dengan berbagai universitas Islam dan universitas negeri seperti Universitas Gajah Mada dan Universitas Sumatera Utara. Lebih dari 1.500 pelajar dengan berbagai latar belakang dan 50 pembicara nasional dan daerah dilibatkan dalam diskusi-diskusi tersebut.
Dikeluarkan pada tanggal 14 September 2007.

2 comments:

Anonymous said...

Partai2 lain pada poligami sebenarnya gk masalah buat masyarakat, kesalahannya adalah ketika PKS yang notabene partai penjual agama Islam dan moral akidah, malah berpoligami.

Ini yang disoroti masyarakat, Islam tidak mengajarkan berpoligami walapun Rasul berpoligami pada jamannya. Kalau ada Islam yang menghalalkan poligami, berarti dia Islam pemuja "alat kelamin"

Ade Irman Susanto said...

Ora melu melu aku klo ada alat kelaminnya hehehe